Makalah Tentang Surah Al-Alaq Lengkap
Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Alaq
DI
S
U
S
U
N
OLEH :
Nama : MUHAMMAD RIZKY
Jurusan : PAI ( PENDIDIKAN AGAMA ISLAM)
Semester : 1 ( SATU)
Dosen
Pembimbing : Dra. Hj. NURLIANA AR.MA.
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AL-HIKMAH MEDAN
T.A. 2017-2018
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Tafsir Al-qur’an dengan judul “’Tafsir
Alqur’an Surah Al-Alaq” sebagaimana sebatas pengetahuan dan kemampuan
yang dimiliki dan juga kami berterima kasih pada Ibu Dra.Hj NURLIANA AR selaku
Dosen mata kuliah Tafsir Al-Qur’an yang telah memberikan tugas ini kepada Saya.
tugas ini di susun bertujuan untuk memenuhi tugas Tafsir Al-Qur’an dalam menempuh pendidikan di
Sekolah Tinggi Agama Islam AL-HIKMAH
MEDAN
Saya
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian data
makalah ini. Oleh karena itu, Saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna
dan dapat menambah pengetahuan pembaca.
Medan, Juni 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an merupakan kitab suci bagi
umat beragama Islam, dan juga merupakan mukjizat nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an
itu petunjuk bagi umat islam dalam menjalani kehidupan di dunia. Hal
itulah yang menjadi landasan untuk mempelajari al-qur’an secara keseluruhan.
Mempelajari al-qur’an secara keseluruhan tidak hanya memahaminya secara bahasa
saja, jika demikian akan salah menafsirkan isi al-qur’an tersebut. Untuk
memahaminya secara utuh kita harus tahu sejarah atau latar belakang turunnya
ayat-ayat al-qur’an tersebut.
Sejak zaman sahabat ilmu tentang
asbabun nuzul dianggap sangat penting untuk memahami penafsiran al-qur’an yang
benar, karena hal ini mereka berusaha mempelajarinya. Mereka bertanya kepada
nabi Muhammad SAW tentang sebab-sebab turunnya ayat, atau bertanya kepada
sahabat yang menyaksikan peristiwa turunnya ayat al-qur’an. Demikian pula para
tabi’in yang datang kemudian, ketika mereka harus menafsirkan ayat-ayat hukum,
mereka memerlukan asbabun nuzul agar tidak salah mengambil kesimpulan.
Pengaruh asbabun nuzul yang sangat
besar terhadap pemahaman makna ayat-ayat al-qur’an, hal ini dibuktikan dalam
sebuah ayat al-qur’an yang akan sulit menafsirkannya jika kita tidak melihat
latar belakang turunnya ayat tersebut. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S
Al-Baqarah : 115 yang berbunyi :
وللهالمشرقوالمغربفأينماتولوافثموجهالله
“Dan
bagi Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kalian memalingkan muka, maka
disana pula wajah Allah”. Bila dipahami secara umum, dapat disimpulkan bahwa
sholat kearah mana saja tanpa menghadap kiblat dibenarkan. Tentu saja pemahaman
ini salah, karena salah satu syarat sah sholat adalah menghadap kiblat. Jika
kita melihat asbabun nuzul ayat ini, maka akan menjadi jelas bahwa ayat ini
diperuntukkan untuk para musafir yang tidak mengetahui arah kiblat, setelah
berij’tihad dan melaksanakan sholat setelah itu ia baru mengetahui
kesalahannya, dalam kasus ini sholatnya tetap sah dan ia tidak perlu
mengulangnya. Contoh lainnya terdapat dalam QS.Al-Maidah : 93.
Karena pentingnya ilmu asbabun nuzul
ini, banyak ulama yang menaruh perhatian khusus pada kajian ini bahkan
menuliskan buku khusus tentang asbabun nuzul seperti Ali bin Al-Madini, gurunya
Imam Al-Bukhori, lalu al-Wahidi menuliskan kitab asbabun nuzul yang kemudian dirangkum
oleh al-Ja’bari dengan menghilangkan sanad-sanad haditsnya, tanpa menambahkan
ataupun mengurangi isinya. Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Hajar, yang sayangnya
bukunya tidak lengkap sampai kepada kita, dan yang paling populer adalah
Al-Suyuthi dengan kitabnya Lubabunnuqul fi asbabinnuzul.
BAB II
DASAR TEORI DAN
PEMBAHASAN
Asbabun Nuzul
Pengertian Asbabun Nuzul
Menurut
bahasa (etimologi), asbabun nuzul berarti turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dari
kata “asbab” jamak dari “sababa” yang artinya sebab-sebab, nuzul yang artinya
turun. Yang dimaksud disini adalah ayat al-Qur’an. Asbabun nuzul adalah suatu
peristiwa atau saja yang menyebabkan turunnya ayat-ayat al-Qur’an baik secara
langsung atau tidak langsung. Menurut istilah atau secara terminologi asbabun
nuzul terdapat banyak pengertian, diantaranya :
Menurut Az-Zarqani“
Asbab an-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang
terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat al-Qur’an yang berfungsi sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
Ash-Shabuni“
Asbab
an-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau
beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut,
baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan
dengan urusan agama”.
Subhi Shalih
ما نزلت الآية اواآيات بسببه متضمنة له او
مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوعه
“Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab
turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu
peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum
ketika peristiwa itu terjadi”.
Mana’ al-Qathan
مانزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة او سؤال
“Asbab an-Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan
turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa
satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.
Nurcholis Madjid
Menyatakan
bahwa asbab al-nuzul adalah konsep, teori atau berita tentang adanya
sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada Nabi saw baik berupa
satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat.
Kendatipun
redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda semua menyimpulkan bahwa asbab
an-nuzul adalah kejadian/peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat
al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah
yang timbul dari kejadian tersebut.
Mengutip
pengertian dari Subhi al-Shaleh kita dapat mengetahui bahwa asbabun nuzul ada
kalanya berbentuk peristiwa atau juga berupa pertanyaan, kemudian asbabun nuzul
yang berupa peristiwa itu sendiri terbagi menjadi 3 macam :
Peristiwa berupa pertengkaran
Seperti
kisah turunnya surat Ali Imran : 100, yang bermula dari adanya perselisihan
oleh kaum Aus dan Khazraj hingga turun ayat 100 dari surat Ali Imran yang
menyerukan untuk menjauhi perselisihan.
Peristiwa berupa kesalahan yang serius
Seperti
kisah turunnya surat an-Nisa’ : 43, saat itu ada seorang Imam shalat yang
sedang dalam keadaan mabuk, sehingga salah mengucapkan surat al-Kafirun, surat
An-Nisa’ turun dengan perintah untuk menjauhi shalat dalam keadaan mabuk.
Peristiwa berupa cita-cita/keinginan
Ini dicontohkan dengan cita-cita Umar ibn Khattab yang
menginginkan makam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu turun ayat
والتخذ وامن مقام ابراهيم مصلّى
Sedangkan peristiwa yang berupa pertanyaan dibagi
menjadi 3 macam, yaitu :
Pertanyaan tentang masa lalu seperti :
وَيَسْأَلُونَكَ عَن ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ
سَأَتْلُو عَلَيْكُم مِّنْهُ ذِكْراً
“Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Dzulkarnain. Katakanlah: "Aku akan bacakan kepadamu cerita
tantangnya". (QS. Al-Kahfi: 83)
Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang
berlangsung pada waktu itu seperti ayat:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ
مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.
Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi
pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra’ : 85)
Pertanyaan tentang masa yang akan datang
“(orang-orang kafir) bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya?”
Menurut Dr. M. Quraish Shihab, pakar
tafsir di Indonesia, Asbabun Nuzul bukanlah dalam artian hukum sebab akibat
sehingga seakan-akan tanpa adanya suatu peristiwa atau kasus yang terjadi maka
ayat itu tidak akan turun. Pemakaian kata asbab bukanlah dalam arti yang
sebenarnya. Tanpa adanya suatu peristiwa, Al-Qur’an tetap diturunkan oleh Allah
SWT sesuai dengan iradat-Nya. Demikian pula kata an-nuzul, bukan berarti
turunnya ayat Al-Qur’an dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, karena
Al-Qur’an tidak berbentuk fisik atau materi. Pengertian turun menurut para
mufassir, mangandung pengertian penyampaian atau penginformasian dari Allah SWT
kepada utusan-Nya, Muhammad SAW, dari alam ghaib ke alam nyata melalui malaikat
Jibril.
Redaksi Asbabun Nuzul.
Bentuk
redaksi (ungkapan) yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan
tegas mengenai sebab dan terkadang pula berupa pernyataan yang hanya mengandung
kemungkinan mengenainya. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan : “Sebab
nuzul ayat ini adalah begini”, atau menggunakn fa ta’qibiyah (kira-kira seperti
“maka”, yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata
“turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya, ia
mengatakan “telah terjadi peristiwa begini”, atau “Rasulullah ditanya tentang
hal begini,m maka turunlah ayat ini.” Dengan demikian, kedua bentuk di atas
merupakan mernyataan yang jelas tentang sebab. Contoh-contoh untuk kedua hal
ini akan kami jelaskan lebih lanjut.
Bentuk
kedua, yaitu redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar
menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan: “Ayat ini turun
mengenai ini.” Yang dimaksudkan dengan ungkapan (redaksi) ini terkadang sebab
nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. Demikian juga bila
ia mengatakan “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “Aku tidak
mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini.” Dengan bentuk redaksi
demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi
tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin pula menunjukkan yang
lain. Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar, yang mengatakan:“Ayat
istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam (Al
Baqarah:223) turun berhubungan dengan menggauli istri dari belakang.”
Contoh
kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair
mengajukan gugatan kepada seorang laki-laki dari kaum Ansar yang pernah ikut
dalam Perang Badar bersama Nabi, di hadapan Rasulullah tentang saluran air yang
mengalir dari tempat yang tinggi;
keduanya mengaliri kebun kurma masing-masing dari situ. Orang Ansar berkata:
“Biarkan airnya mengalir.” Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah: “Airi
kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu.”
Orang Ansar itu marah, katanya: Rasulullah, apa sudah waktunya anak bibimu itu
berbuat demikian?” Wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata: “Airi
kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu
biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu.” Rasulullah dengan keputusan ini telah
memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu mengisyaratkan keputusan yang
memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Ansar itu. Ketika Rasulullah
marah kepada orang Ansar, ia memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata
Zubair. “Aku tidak mengira ayat berikut turun mengenai urusan tersebut: Maka
demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim
terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa’:65).
Ibn
Taimiyah mengatakan: “Ucapan mereka bahwa ‘ayat ini turun mengenai urusan ini’,
terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab nuzul, dan terkadang
dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada
sebab nuzulnya. Para ulama’ berselisih pendapat mengenai ucapna sahabat: ‘Ayat
ini hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya
ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir daripada sahabat itu sendiri dan
bukan musnad? Bukhari memasukkanya ke dalam kategori hadis musnad, sedang yang
lain tidak memasukkanya. Dan sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah
atau pengertian ini, seperti musnad Ahmad dan yang lain-lain. Berbeda halnya
bila sahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila
demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan seperti ini ke dalam hadis
musnad. Zarkasyi dalam Al Burhan menyebutkan: “Telah diketahui dari kebiasaan
para sahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata: ‘
Ayat ini utrun mengenai urusan ini’, maka yang dimaksudkan ialah bahwa ayat itu
mengandung hukum urusan tersebut; bukanya urusan itu sebagai sebab penurunan
ayat. Pendapat sahabat ini termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan
ayat, bukan jenis pemberitaan mengenai suatu kenyataan yang terjadi.”
Surah Al-'Alaq (bahasa
Arab:العلق,
"Segumpal Darah") adalah surah ke- dalam
al-Qur'an. Surah
ini terdiri atas 19 ayat dan termasuk golongan surah-surah Makkiyah. Ayat 1
sampai dengan 5 dari surah ini adalah ayat-ayat Al-Quran yang pertama kali
diturunkan, yaitu di waktu Nabi Muhammad bertafakur di gua Hira. Surah
ini dinamai Al 'Alaq (segumpal darah), diambil dari perkataan Alaq yang
terdapat pada ayat 2 surat ini. Surat ini dinamai juga dengan Iqra' atau Al Qalam.
Perintah membaca lingkungan alam
semesta untuk menemukan siapa sebenarnya Tuhan; tersurat dalam Surat Al alaq:
manusia dijadikan dari segumpal darah; Allah menjadikan kalam sebagai alat
mengembangkan pengetahuan;Janganlah manusia bertindak melampaui batas karena
merasa dirinya serba cukup; ancaman Allah terhadap orang-orang kafir yang
menghalang-halangi kaum muslimin melaksanakan perintah-Nya.
Surat Al 'Alaq menerangkan bahwa
Allah menciptakan manusia dari benda yang hina kemudian memuliakannya dengan
mengajar membaca, menulis dan memberinya pengetahuan. Tetapi manusia tidak
ingat lagi akan asalnya, karena itu dia tidak mensyukuri nikmat Allah itu,
bahkan dia bertindak melampaui batas karena melihat dirinya telah merasa serba
cukup.
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Imam
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah
menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah yang
menceritakan bahwa permulaan wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Saw.
berupa mimpi yang benar dalam tidurnya. Dan beliau tidak sekali-kali melihat
suatu mimpi, melainkan datangnya mimpi itu bagaikan sinar pagi hari.
Kemudian
dijadikan baginya suka menyendiri, dan beliau sering datang ke Gua Hira, lalu
melakukan ibadah di dalamnya selama beberapa malam yang berbilang dan untuk itu
beliau membawa perbekalan secukupnya. Kemudian beliau pulang ke rumah Khadijah
(istrinya) dan mengambil bekal lagi untuk melakukan hal yang sama.
Pada
suatu hari ia dikejutkan dengan datangnya wahyu saat berada di Gua Hira.
Malaikat pembawa wahyu masuk ke dalam gua menemuinya, lalu berkata,
"Bacalah!" Rasulullah Saw. melanjutkan kisahnya, bahwa ia
menjawabnya, "Aku bukanlah orang yang pandai membaca." Maka
malaikat itu memegangku dan mendekapku sehingga aku benar-benar kepayahan
olehnya, setelah itu ia melepaskan diriku dan berkata lagi,
"Bacalah!" Nabi Saw. menjawab, "Aku bukanlah orang yang
pandai membaca." Malaikat itu kembali mendekapku untuk kedua kalinya
hingga benar-benar aku kepayahan, lalu melepaskan aku dan berkata,
"Bacalah!" Aku menjawab, "Aku bukanlah orang yang pandai
membaca." Malaikat itu kembali mendekapku untuk ketiga kalinya hingga
aku benar-benar kepayahan, lalu dia melepaskan aku dan berkata:
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang Menciptakan. (Al-'Alaq: 1) sampai dengan firman-Nya: apa
yang tidak diketahuinya. (Al-'Alaq: 5)
Maka setelah itu Nabi Saw. pulang dengan hati
yang gemetar hingga masuk menemui Khadijah, lalu bersabda:
«زَمِّلُونِي
زَمِّلُونِي»
Selimutilah aku, selimutilah aku!
Maka
mereka menyelimutinya hingga rasa takutnya lenyap. Lalu setelah rasa takutnya
lenyap, Khadijah bertanya, "Mengapa engkau?" Maka Nabi Saw.
menceritakan kepadanya kejadian yang baru dialaminya dan bersabda, "Sesungguhnya
aku merasa takut terhadap (keselamatan) diriku." Khadijah berkata,
"Tidak demikian, bergembiralah engkau, maka demi Allah, Dia tidak akan
mengecewakanmu selama-lamanya. Sesungguhnya engkau adalah orang yang suka
bersilaturahmi, benar dalam berbicara, suka menolong orang yang kesusahan,
gemar menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang tertimpa musibah."
Kemudian
Khadijah membawanya kepada Waraqah ibnu Naufal ibnu Asad ibnu Abdul Uzza ibnu
Qusay. Waraqah adalah saudara sepupu Khadijah dari pihak ayahnya, dan dia
adalah seorang yang telah masuk agama Nasrani di masa Jahiliah dan pandai
menulis Arab, lalu ia menerjemahkan kitab Injil ke dalam bahasa Arab seperti
apa yang telah ditakdirkan oleh Allah, dan dia adalah seorang yang telah lanjut
usia dan tuna netra.
Khadijah
bertanya, "Hai anak pamanku, dengarlah apa yang dikatakan oleh anak
saudaramu ini." Waraqah bertanya, "Hai anak saudaraku, apakah yang
telah engkau lihat?" Maka Nabi Saw. menceritakan kepadanya apa yang telah
dialami dan dilihatnya. Setelah itu Waraqah berkata, "Dialah Namus
(Malaikat Jibril) yang pernah turun kepada Musa. Aduhai, sekiranya diriku masih
muda. Dan aduhai, sekiranya diriku masih hidup di saat kaummu mengusirmu."
Rasulullah
Saw. memotong pembicaraan, "Apakah benar mereka akan mengusirku?"
Waraqah menjawab, "Ya, tidak sekali-kali ada seseorang lelaki yang
mendatangkan hal seperti apa yang engkau sampaikan, melainkan ia pasti
dimusuhi. Dan jika aku dapat menjumpai harimu itu, maka aku akan menolongmu
dengan pertolongan yang sekuat-kuatnya." Tidak lama kemudian Waraqah
wafat, dan wahyu pun terhenti untuk sementara waktu hingga Rasulullah Saw.
merasa sangat sedih.
Menurut
berita yang sampai kepada kami, karena kesedihannya yang sangat, maka berulang
kali ia mencoba untuk menjatuhkan dirinya dari puncak bukit yang tinggi. Akan
tetapi, setiap kali beliau sampai di puncak bukit untuk menjatuhkan dirinya
dari atasnya, maka Jibril menampakkan dirinya dan berkata kepadanya, "Hai
Muhammad, sesungguhnya engkau adalah utusan Allah yang sebenarnya," maka
tenanglah hati beliau karena berita itu, lalu kembali pulang ke rumah
keluarganya.
Dan
manakala wahyu datang terlambat lagi, maka beliau berangkat untuk melakukan hal
yang sama. Tetapi bila telah sampai di puncak bukit, kembali Malaikat Jibril
menampakkan diri kepadanya dan mengatakan kepadanya hal yang sama.
Hadis
ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain melalui Az-Zuhri; dan kami telah
membicarakan tentang hadis ini ditinjau dari segi sanad, matan, dan maknanya
pada permulaan kitab syarah kami, yaitu Syarah Bukhari dengan pembahasan yang
lengkap. Maka bagi yang ingin mendapatkan keterangan lebih lanjut, dipersilakan
untuk merujuk kepada kitab itu, semuanya tertulis di sana.
Mula-mula
wahyu Al-Qur'an yang diturunkan adalah ayat-ayat ini yang mulia lagi diberkati,
ayat-ayat ini merupakan permulaan rahmat yang diturunkan oleh Allah karena
kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya, dan merupakan nikmat yang mula-mula
diberikan oleh Allah kepada mereka. Di dalam surat ini terkandung peringatan
yang menggugah manusia kepada asal mula penciptaan manusia, yaitu dari 'alaqah.
Dan bahwa di antara kemurahan Allah Swt. ialah Dia telah mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. Hal ini berarti Allah telah memuliakan dan
menghormati manusia dengan ilmu. Dan ilmu merupakan bobot tersendiri yang
membedakan antara Abul Basyar (Adam) dengan malaikat. Ilmu itu adakalanya
berada di hati, adakalanya berada di lisan, adakalanya pula berada di dalam
tulisan tangan. Berarti ilmu itu mencakup tiga aspek, yaitu di hati, di lisan,
dan di tulisan. Sedangkan yang di tulisan membuktikan adanya penguasaan pada
kedua aspek lainnya, tetapi tidak sebaliknya. Karena itulah disebutkan dalam
firman-Nya:
{اقْرَأْ
وَرَبُّكَ الأكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ
يَعْلَمْ}
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Penmrah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al-'Alaq: 3-5)
Di
dalam sebuah asar disebutkan, "Ikatlah ilmu dengan tulisan." Dan
masih disebutkan pula dalam asar, bahwa barang siapa yang mengamalkan ilmu yang
dikuasainya, maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya.
Penutup
Perintah membaca lingkungan alam
semesta untuk menemukan siapa sebenarnya Tuhan; tersurat dalam Surat Al alaq:
manusia dijadikan dari segumpal darah; Allah menjadikan kalam sebagai alat
mengembangkan pengetahuan;Janganlah manusia bertindak melampaui batas karena
merasa dirinya serba cukup; ancaman Allah terhadap orang-orang kafir yang
menghalang-halangi kaum muslimin melaksanakan perintah-Nya.
Surat Al 'Alaq menerangkan bahwa
Allah menciptakan manusia dari benda yang hina kemudian memuliakannya dengan
mengajar membaca, menulis dan memberinya pengetahuan. Tetapi manusia tidak ingat
lagi akan asalnya, karena itu dia tidak mensyukuri nikmat Allah itu, bahkan dia
bertindak melampaui batas karena melihat dirinya telah merasa serba cukup.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu
Kasir Surah Al-Alaq 1-5
Mahmud, Muni‘ Abd al-H}alim, Ahmad
Syahatah Ahmad Musa, Abd al-Badi‘ Abu Hasyim
Mardan, Al-Qur’an: Sebuah Pengantar
Memahami al-Qur’an Secara Utuh, Cet. I; Makassar: Alauddin
al-Qattan,
Manna’, Mabahis fi ulum al-Qur‘an, Cet. 10; Kairo: Maktabah Wahbah, 1997.
Komentar
Posting Komentar